PTALI

Sanitary Landfill vs Open Dumping: Mana Solusi Pengelolaan Sampah yang Lebih Baik?

Pengelolaan sampah menjadi tantangan besar bagi negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan pola konsumsi yang tidak ramah lingkungan menyebabkan volume sampah terus bertambah. Dua metode yang umum digunakan untuk pembuangan akhir sampah adalah sanitary landfill dan open dumping. Namun, keduanya memiliki dampak dan efektivitas yang sangat berbeda. Artikel ini akan membahas secara komprehensif perbandingan antara sanitary landfill dan open dumping dari segi pengertian, proses, dampak lingkungan, kesehatan, serta efisiensi pengelolaan.

1. Pengertian Sanitary Landfill dan Open Dumping

Sanitary landfill adalah metode pembuangan sampah di lahan yang dirancang secara teknis untuk mengisolasi sampah dari lingkungan sekitarnya, sehingga meminimalkan pencemaran air tanah, udara, dan tanah. Sampah dikompaksi dan ditutup dengan lapisan tanah setiap hari, serta dilengkapi sistem pengelolaan air lindi (leachate) dan gas metana.

Sementara itu, open dumping atau tempat pembuangan terbuka adalah metode paling sederhana dan paling tidak direkomendasikan. Sampah dibuang begitu saja di suatu area terbuka tanpa perlakuan khusus. Tidak ada sistem pelapisan dasar, penutupan harian, atau pengelolaan gas dan cairan limbah. Metode ini umumnya dilakukan di daerah yang belum memiliki fasilitas atau kebijakan pengelolaan sampah yang memadai.

2. Proses Penerapan

Sanitary Landfill:

  • Persiapan Lahan: Dasar lokasi dilapisi dengan geomembran dan lapisan tanah liat untuk mencegah pencemaran air tanah.
  • Penempatan Sampah: Sampah dikompaksi dengan alat berat untuk mengurangi volume.
  • Penutupan Harian: Setiap hari, sampah ditutup dengan tanah atau bahan penutup lainnya.
  • Pengelolaan Lindi dan Gas: Air lindi ditampung dan diolah; gas metana disalurkan untuk digunakan sebagai energi atau dibakar untuk mengurangi emisi.

Open Dumping:

  • Tanpa Proses Khusus: Sampah hanya ditumpuk di permukaan tanah.
  • Tidak Ada Sistem Penutupan: Sampah dibiarkan terbuka, menimbulkan bau, menyebarkan penyakit, dan menjadi tempat berkembangbiaknya vektor penyakit seperti lalat dan tikus.
  • Tidak Ada Sistem Pengelolaan Lindi atau Gas: Air lindi meresap ke dalam tanah dan mencemari air tanah, gas metana terlepas ke atmosfer tanpa kendali.

3. Dampak Lingkungan

Sanitary Landfill:

  • Lebih ramah lingkungan karena meminimalkan risiko pencemaran air, tanah, dan udara.
  • Pengendalian emisi gas rumah kaca (khususnya metana) lebih baik karena adanya sistem penangkapan gas.
  • Risiko kebakaran dan longsor rendah karena stabilisasi struktur sampah.

Open Dumping:

  • Menjadi sumber utama pencemaran lingkungan.
  • Air lindi mencemari air tanah dan air permukaan, mengancam kesehatan masyarakat.
  • Menghasilkan gas metana tanpa kontrol, berkontribusi pada perubahan iklim.
  • Rentan terhadap kebakaran, longsor sampah (seperti tragedi Leuwigajah 2005), dan banjir.

4. Dampak terhadap Kesehatan

Open dumping meningkatkan risiko penyebaran penyakit seperti diare, demam berdarah, tifus, dan infeksi saluran pernapasan. Hal ini disebabkan karena sampah yang terbuka mengundang serangga, tikus, dan mikroorganisme berbahaya.

Sebaliknya, sanitary landfill dirancang untuk meminimalkan kontak manusia dan lingkungan dengan limbah. Lokasi juga biasanya dijauhkan dari pemukiman penduduk, serta dilengkapi pengawasan dan sistem drainase yang lebih baik.

5. Biaya dan Efisiensi

Sanitary landfill memang membutuhkan investasi awal yang lebih besar, baik dalam pembangunan, operasional, maupun pengawasan. Namun dalam jangka panjang, metode ini lebih efisien karena:

  • Mengurangi biaya kesehatan masyarakat.
  • Memungkinkan pemanfaatan gas metana untuk energi.
  • Mengurangi biaya rehabilitasi lingkungan.
  • Open dumping memang murah secara kasat mata, tetapi memiliki “biaya tersembunyi” yang jauh lebih besar. Dampak jangka panjang berupa kerusakan lingkungan, beban kesehatan masyarakat, dan risiko bencana akan jauh lebih mahal untuk ditangani.

6. Studi Kasus

Indonesia:

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sekitar 60% Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Indonesia masih menggunakan sistem open dumping (KLHK, 2023). TPA Leuwigajah di Cimahi, misalnya, pernah mengalami longsor pada 2005 yang menewaskan lebih dari 150 orang.

Sementara itu, TPA seperti TPA Benowo di Surabaya sudah mulai beralih ke sanitary landfill dan bahkan memanfaatkan gas metana untuk pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).

Negara Maju:

Negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, dan Belanda sudah meninggalkan sistem open dumping sejak lama. Jepang hanya menyisakan kurang dari 10% sampah yang ditimbun setelah proses daur ulang dan insinerasi. Landfill yang tersisa pun dikelola dengan sistem sanitary yang sangat ketat.

7. Tantangan Implementasi di Indonesia

Meskipun sanitary landfill adalah solusi ideal, penerapannya di Indonesia menghadapi berbagai tantangan:

  • Keterbatasan anggaran pemerintah daerah.
  • Kurangnya lahan yang sesuai secara teknis dan sosial.
  • Kurangnya kesadaran masyarakat dan pemilahan sampah dari rumah.
  • Keterbatasan tenaga ahli dan teknologi.

Untuk mengatasi hal ini, pemerintah perlu:

  • Meningkatkan kapasitas teknis dan anggaran daerah.
  • Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pemilahan dan pengurangan sampah.
  • Mendorong kolaborasi dengan sektor swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP).

8. Kesimpulan

Sanitary landfill adalah metode pembuangan sampah yang lebih aman dan berkelanjutan dibanding open dumping. Meski biaya awalnya lebih tinggi, sanitary landfill memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan kesehatan jangka panjang. Sebaliknya, open dumping hanya memberikan solusi sementara yang menimbulkan kerugian besar bagi generasi mendatang.

Indonesia perlu segera beralih dari open dumping menuju sistem sanitary landfill secara bertahap, sembari meningkatkan kesadaran masyarakat, membangun fasilitas daur ulang, dan mengembangkan ekonomi sirkular.

Daftar Pustaka

  1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2023). Status Pengelolaan Sampah di Indonesia. https://sipsn.menlhk.go.id/
  2. UNEP (United Nations Environment Programme). (2019). Waste Management Outlook for Asia and the Pacific.
  3. World Bank. (2022). What a Waste 2.0: A Global Snapshot of Solid Waste Management to 2050.
  4. Republika.co.id. (2023). “Sanitary Landfill, Solusi Jangka Panjang Pengelolaan Sampah di Indonesia.”
  5. Kompas. (2020). “Benowo, PLTSa Pertama di Indonesia yang Gunakan Gas Metana Sampah.”
Safrin Heruwanto

By admin