PTALI

Merawat Bumi dalam Keberagaman: Refleksi Lingkungan di Hari Dialog dan Pengembangan Perbedaan Budaya Sedunia

Pendahuluan

Setiap tanggal 21 Mei, dunia memperingati Hari Dialog dan Pengembangan Perbedaan Budaya Sedunia (World Day for Cultural Diversity for Dialogue and Development). Ditetapkan oleh UNESCO sejak tahun 2002, hari ini menjadi momentum penting untuk merayakan keberagaman budaya, memperkuat dialog antarperadaban, serta menumbuhkan pemahaman lintas budaya sebagai fondasi perdamaian dan pembangunan berkelanjutan.

Namun, dalam perayaan keberagaman ini, sering kali terlupakan bahwa budaya dan lingkungan hidup saling terkait erat. Budaya mempengaruhi cara manusia memperlakukan alam, dan sebaliknya, kondisi lingkungan mempengaruhi kelangsungan kebudayaan suatu masyarakat. Di tengah krisis iklim global, dialog budaya juga harus mencakup etika lingkungan, karena pelestarian budaya tidak bisa lepas dari pelestarian alam.

Lingkungan dan Budaya: Keterhubungan yang Erat

Budaya bukan hanya produk seni, bahasa, atau tradisi — tetapi juga mencerminkan hubungan manusia dengan lingkungannya. Masyarakat adat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang menjunjung tinggi keharmonisan dengan alam. Mereka tidak hanya melihat hutan sebagai sumber kayu, tetapi juga sebagai rumah leluhur, tempat suci, dan sumber kehidupan.

Contohnya:

  • Suku Dayak di Kalimantan memiliki sistem peladangan berpindah yang menjaga kesuburan tanah dan keberagaman hayati.
  • Masyarakat Adat Papua menjaga hutan adat sebagai bagian dari identitas dan spiritualitas mereka.
  • Tradisi Subak di Bali adalah contoh pengelolaan air irigasi yang demokratis dan berlandaskan spiritualitas Hindu.

Sayangnya, modernisasi dan sistem ekonomi global yang eksploitatif telah mengikis hubungan budaya dan lingkungan. Dalam banyak kasus, masyarakat lokal justru menjadi korban pembangunan yang merusak lingkungan, seperti tambang, sawit, dan reklamasi.

“Ketika budaya dirampas, lingkungan pun turut hancur. Dan ketika alam rusak, budaya ikut hilang.”
UNESCO World Report on Cultural Diversity, 2016

Krisis Lingkungan sebagai Krisis Budaya

Krisis lingkungan seperti deforestasi, pencemaran laut, dan perubahan iklim tidak hanya berdampak pada ekosistem fisik, tetapi juga mengancam keberlangsungan budaya. Hilangnya hutan adat berarti hilangnya pengetahuan lokal. Naiknya permukaan laut mengancam komunitas pesisir dan cara hidup mereka.

Laporan UNESCO (2021) mencatat bahwa:

  • Lebih dari 50% komunitas adat dunia hidup di kawasan ekosistem penting seperti hutan tropis dan pegunungan.
  • Krisis iklim menyebabkan migrasi budaya, yaitu perpindahan kelompok masyarakat yang akhirnya memutus keterikatan mereka dengan tanah leluhur.
  • Modernisasi yang mengabaikan keberlanjutan lingkungan mengikis identitas budaya komunitas-komunitas kecil.

Dengan demikian, penyelamatan lingkungan bukan hanya urusan ekologi, tetapi juga upaya mempertahankan keberagaman budaya umat manusia.

Dialog Antarbudaya demi Lingkungan Berkelanjutan

Hari Dialog dan Pengembangan Perbedaan Budaya Sedunia menjadi panggung untuk menyuarakan bahwa dialog antarbudaya juga harus mencakup pemahaman terhadap cara pandang berbeda dalam memperlakukan alam.

Misalnya:

  • Dalam budaya industri modern, alam sering diposisikan sebagai komoditas.
  • Dalam banyak budaya tradisional, alam adalah ibu, roh leluhur, atau bagian dari siklus kehidupan yang sakral.

Dialog yang terbuka dan saling menghargai antara kedua cara pandang ini dapat melahirkan solusi yang lebih berkelanjutan. Pendekatan teknologi modern bisa dipadukan dengan kearifan lokal agar pembangunan tidak merusak, melainkan melestarikan.

Contoh keberhasilan integrasi ini terlihat dalam:

  • Ekowisata berbasis masyarakat adat di Sumba dan Mentawai.
  • Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) di Jawa Barat.
  • Proyek konservasi laut berbasis adat Sasi di Maluku dan Papua.

Masyarakat Adat: Penjaga Bumi dan Warisan Budaya

Data dari UN Environment Programme (UNEP) menunjukkan bahwa:

“Sekitar 80% keanekaragaman hayati dunia berada di wilayah yang dikelola oleh masyarakat adat.”

Artinya, pelestarian budaya adat menjadi kunci dalam menjaga ekosistem dunia. Namun, masyarakat adat sering kali terpinggirkan dari pengambilan keputusan dan rentan terhadap pelanggaran hak.

Untuk itu, perlu:

  • Pengakuan hukum atas hak tanah dan wilayah adat.
  • Perlindungan terhadap pengetahuan lokal sebagai bagian dari warisan budaya takbenda.
  • Partisipasi aktif komunitas adat dalam perencanaan pembangunan dan konservasi.

Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) menegaskan pentingnya pengakuan terhadap budaya dan pengetahuan tradisional dalam upaya pelestarian lingkungan global.

Keberagaman Budaya, Solusi untuk Krisis Lingkungan

Satu pendekatan tidak bisa menyelesaikan semua masalah lingkungan. Keberagaman budaya justru menyediakan beragam solusi lokal yang terbukti efektif secara ekologis dan sosial.

Contoh:

  • Di Jepang, tradisi Satoyama (keseimbangan hutan dan desa) menjadi dasar pengelolaan lanskap berkelanjutan.
  • Di Amerika Latin, konsep Buen Vivir mengajarkan hidup cukup dan selaras dengan alam.
  • Di Indonesia, Tri Hita Karana dari Bali menyatukan harmoni antara manusia, Tuhan, dan alam.

Semua itu menunjukkan bahwa keberagaman budaya menyimpan solusi ekologis yang bisa dipelajari dan dikembangkan dalam konteks global.

Kesimpulan: Membangun Masa Depan yang Lestari Melalui Dialog dan Budaya

Memperingati Hari Dialog dan Pengembangan Perbedaan Budaya Sedunia adalah ajakan untuk membangun masa depan yang tidak hanya toleran terhadap perbedaan, tetapi juga menghormati alam sebagai sumber kehidupan bersama.

Pelestarian budaya tidak bisa dilepaskan dari pelestarian lingkungan. Sebaliknya, penyelamatan lingkungan akan lebih berhasil bila dilakukan dengan pendekatan yang menghargai keragaman budaya.

Dalam dunia yang saling terhubung dan menghadapi krisis iklim yang sama, kita perlu saling belajar. Budaya bukan hambatan, tapi sumber kekayaan solusi untuk membangun dunia yang lebih adil, damai, dan lestari.

Daftar Referensi

  1. UNESCO. (2002). Universal Declaration on Cultural Diversity. https://unesdoc.unesco.org
  2. UNEP. (2021). Indigenous Peoples and Biodiversity. https://www.unep.org
  3. UNESCO World Report. (2016). Culture: Urban Future. https://en.unesco.org
  4. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). (2023). Laporan Lingkungan Indonesia. https://www.walhi.or.id
  5. Forest Peoples Programme. (2020). Indigenous Peoples and Forest Governance. https://www.forestpeoples.org
  6. Komnas HAM & AMAN. (2022). Hak Masyarakat Adat atas Wilayah dan Budaya. https://www.komnasham.go.id
  7. UNDRIP (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples). https://www.un.org/development/desa/indigenouspeoples/declaration-on-the-rights-of-indigenous-peoples.html
Safrin Heruwanto

By admin